Maratibal Amal (Tahapan-tahapan Amal)
Salah satu materi halaqah yang
berkesan bagi saya baik itu berkesan untuk logika saya maupun emosi saya adalah
suatu materi dari Hasan Al-Banna yang berjudul Maratibal Amal (Tahapan-tahapan
Amal). Ketika mendapat materi ini saya baru sadar sedang berada di titik mana
dakwah kita dan hendak ke titik mana dakwah ini menuju. Tujuan membuat
aktivitas yang kita lakukan lebih berenergi. Dapat dibayangkan jika kita memiliki
tujuan yang bias, dapat dipastikan amalan-amalan kita tanpa arah. Bisa saja
orang berkata tujuan kita mencari Ridha Allah bukan yang lain, tetapi harus
diingat juga menentukan tujuan haruslah spesifik. Atau tujuan besar itu harus
dipotong-dipotong menjadi tujuan-tujuan kecil, sehingga kita dapat
memvisualisasikannya dengan jelas. Dan apa yang dilakukan oleh Hasan Al-Banna
adalah bermaksud untuk melakukan hal tersebut. Beliau tidak bermaksud
mengaburkan tujuan besar kita untuk mencari Ridha Allah, tetapi justru beliau
memperjelasnya dengan tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
Maratibal amal juga menjadi sequence amal kita dalam memperjuangkan dakwah
ini, sesuai firman Allah:
“Maka apabila engkau telah selesai
(dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (Q.S.
Al-Insyirah: 7)
Hal ini membuat kerja kita lebih
terarah karena kita tahu apa yang akan kita lakukan setelah kita selesai
melakukan suatu amalan. Kita tidak disibukkan untuk mencari-cari amalan ketika
kita selesai mengerjakan suatu amalan. Dengan menetapkan apa yang akan kita
lakukan terlebih dahulu daripada tindakan terlebih dahulu, maka itu sesuai
dengan kata-kata bijak:
“Gagal merencanakan sama saja
dengan merencanakan kegagalan.”
Atau kata-kata Abe Lincoln: “Kalau
saya diberi waktu tujuh jam untuk menebang pohon, maka saya akan gunakan lima
jam untuk mengasah kapak”.
Bahkan berdasarkan ayat di atas
kita diperintahkan oleh Allah untuk berjihad (bersungguh-sungguh) mengerjakan
amal yang akan datang setelah kita mengerjakan suatu amalan. Maka amalan yang
akan datang seyogyanya harus lebih baik dari amal yang terdahulu yang telah
kita kerjakan.
Maratibal Amal yang dikonsep oleh
Hasan Al-Banna masih sangat relevan di zaman sekarang. Dikatakan demikian
karena apa yang beliau pikirkan hanyalah konsep dari seorang manusia yang dapat
berubah-ubah mengikuti perubahan zaman. Yusuf Qardhawi saja yang merupakan
seorang murid dari Al-Banna, memiliki fatwa-fatwa kontemporer, bahkan beliau
berani bertentangan pemikiran dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam fatwa
pengucapan selamat natal. Itu tidak lain karena segala hal yang di luar dua
pusaka umat Islam, Al-Quran dan Al-Hadits, tidaklah bersifat saklak dan mutlak.
Begitu pun Maratibal Amal ini. Kita sebagai seorang ikhwan jangan sampai mensejajarkan
pemikiran beliau dengan Al-Quran dan Al-Hadits yang tidak ada cacatnya sama
sekali dan kita juga harus menerima dengan hati yang lapang jikalau ada konsep
yang lebih baik atau konsep yang menyempurnakan pemikiran Hasan Al-Banna.
Tanpa berpanjang lebar lagi
berikut akan dijelaskan Maratibal Amal dengan perspektif dan kata-kata penulis
sendiri. Mohon maaf jika ada ketidaksesuaian karena semua yang penulis tulis
berangkat dari apa yang penulis pahami.
Hasan Al-Banna membagi
tahapan-tahapan amal dakwah kita menjadi tujuh, yaitu:
1.
ISLAHUN NAFS (Memperbaiki Diri)
Sebelum kita berkoar-koar untuk
mendirikan khilafah ada baiknya kita lihat diri kita sendiri apakah kita
menegakkan syariat Islam minimal untuk diri kita sendiri? Sangat lucu ketika
orang berteriak-teriak, “Hancurkan thaghut! Thaghut tidak boleh jadi dasar
negara! Tegakkan syariat Islam! Tegakkan khilafah!”, tetapi dia sendiri
sholatnya masih bolong-bolong, masih suka bohong, masih suka melanggar perintah
Allah lainnya. Sungguh hal ini sangat dibenci Allah. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman!
Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah
dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff: 2-3)
Atau mungkin ikhwan pernah
mendengar cerita seorang ulama Hasan Al-Bashri yang tidak mau menyampaikan
materi tentang membebaskan budak sebelum ia selesai mengumpulkan uang untuk
membebaskan budak dan setelah itu beliau baru mau menyampaikan materi tentang
membebaskan budak. Saya pernah mendengar kajian dari seorang ustadz muda (kalau
bisa dibilang begitu), saya agak kurang setuju dengan pandangannya. Beliau
mengatakan untuk memberi taushiyah tentang menikah dia tidak harus menikah.
Bahkan ustadz itu menceritakan bahwa beliau memiliki dua orang mutarabbi yang
telah menikah sementara beliau sendiri belum menikah dan beliau merasa
nyaman-nyaman saja. Menurut saya, pandangan ustadz muda itu cukup keliru.
Kemudian muncul pertanyaan model
perbaikan diri seperti apa yang hendak dicapai? Pertanyaan itu dijawab Al-Banna
dengan sepuluh Muwashofat (karakteristik) ikhwan ideal. Perbaikan diri itu
ditujukan agar setiap muslim memiliki muwashofat ini. Muwashofat tersebut,
yaitu:
a. Aqidah yang Bersih (Salimul
Aqidah)
Sebelum kita melangkah lebih jauh,
tiga muwashofat yang pertama dapat digambarkan sebagai suatu pohon. Akar dari
pohon itu adalah aqidah yang berwujud iman, batangnya adalah ibadah yang
berwujud Islam, dan dahan serta daun dan juga buahnya adalah akhlak, dan salah
satu akhlak yang paling baik adalah ihsan.
Aqidah atau iman diibaratkan suatu
akar dialah pondasi yang menjaga agar pohon itu tetap tegak. Idealnya semakin
tinggi menjulang suatu pohon maka akan semakin kencang angin yang akan menerpa
dan dibutuhkan juga akar yang kuat yang menjalar dan yang menghujam. Itu dapat
berarti semakin tinggi tingkatan keimanan seseorang maka cobaan dari Allah akan
semakin kencang dan dibutuhkan aqidah atau keyakinan yang semakin kuat.
Itulah juga mengapa materi
awal-awal tarbiyah kita adalah perkenalan dengan Allah, dengan malaikat, dengan
Rasul agar sebelum kita diberi materi lain kita telah memiliki pondasi yang
kuat dan kokoh.
b. Ibadah yang Benar (Shahihul
Ibadah)
Karakteristik yang kedua ini diibaratkan adalah batang dari
suatu pohon yang merupakan pusat aktivitas dari suatu pohon. Dialah yang
merealisasikan pemikiran, konsep, dan angan-angan kita. Tanpa action apa yang kita konsep hanyalah omong
kosong belaka. Maka di sinilah ibadah mengambil peran. Konsep yang cukup dengan
tindakan jauh lebih baik daripada konsep yang melangit tetapi tanpa realisasi.
Ibadah juga luas maknanya tidak
hanya kepada Allah atau ibadah mahdah (baca: hablumminallah), tetapi kepada
manusia juga adalah ibadah yaitu ibadah ghairu mahdah (baca: hablumminannaas).
Semua kegiatan pada dasarnya adalah tercatat sebagai ibadah jika diniatkan
untuk mencari keridhaan Allah.
c. Akhlak yang Kokoh (Matinul
Khuluq)
Karakteristik yang ketiga adalah
buah dari dua karakteristik yang telah disebutkan yaitu akhlak yang kokoh. Ia
berasal dari aqidah yang kokoh dan ibadah yang kokoh. Bukankah Rasul diutus
untuk menyempurnakan akhlak? Setiap muslim yang memiliki akhlak yang kokoh maka
izzah-nya (kewibawaannya) akan tampak.
d. Kekuatan Jasmani (Qowwiyul
Jism)
Karakteristik muslim ideal yang keempat
adalah memiliki jasad yang kuat. Bagaimana kita hendak mengerjakan
amalan-amalan dakwah kalau jasad kita lemah padahal kewajiban kita lebih banyak
dari waktu yang kita miliki. Dibutuhkan kekuatan jasmani untuk mendukung semua
itu. Kita juga dianjurkan untuk selalu bersiap siaga dan setidaknya ada satu
bidang beladiri yang kita kuasai. Kita juga tahu anjuran Rasul untuk melatih
diri agar kita bisa memanah, berkuda, dan berenang. Itulah mengapa jamaah kita
adalah juga klub olahraga karena kita juga konsen terhadap hal ini.
e. Intelek dalam Berpikir
(Mutsaqqoful Fikri)
Seorang muslim yang ideal bukanlah seorang muslim yang hanya
bisa bahasa Arab saja, ia harus bisa bahasa Inggris, bahkan kalau perlu ia bisa
bahasa Mandarin, bahasa Jepang, atau bahasa Perancis. Seorang muslim yang ideal
tidak hanya mondok di pesantren, dia juga harus mondok di Harvard, Cambridge, Oxford, atau
Nanyang. Seorang muslim yang ideal tidak hanya bisa baca kitab kuning, dia juga
harus bisa membaca ilmu perbintangan, membaca laporan keuangan, dan bahkan
membaca DNA tubuh manusia.
Untuk mendirikan suatu negara
Islam kita tidak hanya membutuhkan ustad saja. Kita juga butuh ilmuwan, butuh
dokter, butuh insinyur, butuh arsitek, butuh tentara, polisi, dan lain-lain.
Maka dari itulah seorang ikhwan harus bertebaran di muka bumi ini, memperluas
wawasan, dan menguasai ilmu pengetahuan.
f. Berjuang Melawan Hawa Nafsu
(Mujahadatul Linafsihi)
Walaupun hadits tentang perang
melawan hawa nafsu setelah Perang Uhud termasuk hadits dhoif, kita dapat
mengambil pelajaran tentang pentingnya dan besarnya berjuang memerangi hawa
nafsu sampai harus disejajarkan dengan beratnya perjuangan dalam Perang Uhud.
Muslim yang terkuat bukanlah muslim yang jago gulat, tetapi muslim yang dapat
menjaga hawa nafsunya. Kita yang menjadi tuan atas hawa nafsu kita bukan
sebaliknya hawa nafsu yang menjadi tuan atas diri kita. Hawa nafsu ibarat kuda
yang menarik delman kita. Kita yang mengendalikannya apakah ia mau maju,
mundur, ke kanan, ataukah ke kiri semuanya terserah kita dan tentunya kita
mengendalikannya dengan iman.
g. Pandai Menjaga Waktu (Harishun
Ala Waqtihi)
Imam Al-Banna pernah berkata,
‘Al-wajibatu aktsaru minal auqot’, kewajiban itu lebih banyak daripada waktu
yang kita miliki. Seorang muslim yang ideal adalah muslim yang sangat
menghargai waktu karena ia sadar waktu takkan pernah berulang. Senin yang kita
jalani minggu ini berbeda dengan Senin minggu depan. Detik yang kita lalui
sekarang berbeda dengan detik yang akan kita lalui di masa depan. Setiap orang
sama-sama memiliki waktu 24 jam sehari dalam hidupnya, tetapi karya orang
berbeda-beda. Orang yang jenius punya waktu 24 jam, orang yang tidak atau belum
jenius juga punya waktu 24 jam, tetapi mereka berbeda. Perbedaannya terletak
bagaimana mereka menggunakan waktunya.
h. Teratur dalam Urusan
(Munazhzhamun fi Syuunihi)
Urusan seorang muslim bukanlah urusan yang amburadul tanpa
konsep. Itulah mengapa hampir setiap rukun ibadah mahdah kita selalu ada rukun
tertib di dalamnya. Dalam setiap amalan, kita memiliki tahapan-tahapan kegiatan
yang mana yang harus didahulukan, diketengahkan, dan diakhirkan dan tidak bisa
di-random karena hasilnya akan beda apabila
suatu hal yang seharusnya di akhir diawalkan dan suatu hal yang seharusnya di
awal diakhirkan. Urutan surat Al-Qur’an saja diatur urutannya oleh Allah tanpa
campur tangan manusia.
i. Memiliki Kemampuan Usaha
Sendiri atau Mandiri (Qodirun Alal Kasbi)
Ada tradisi yang mengatakan bahwa
seorang laki-laki baru tampak kelihatan sebagai seorang laki-laki ketika dia
mampu berpenghasilan. Orang yang masih meminta makan kepada orang lain hidupnya
masih berada di ketiak orang yang memberinya makan. Dia tidak bisa bebas
mengatur langkah kakinya karena pemikiran dan langkah kakinya diatur oleh orang
yang memberinya makan. Dengan memiliki sumber penghasilan sendiri seseorang
akan bebas dari segala budi orang lain dan dia tidak harus dibebani dengan
pembalasan budi kepada orang lain. Rasul juga menyuruh seorang sahabat untuk
berpenghasilan sendiri dengan menjual kayu bakar ke pasar daripada harus
meminta-minta. Seorang yang berpenghasilan sendiri juga memiliki izzah atau
kewibawaan tersendiri.
j. Bermanfaat bagi Orang Lain
(Nafi’un Lighoirihi)
Manusia yang paling baik adalah
manusia yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Ketika kita memberi
kebaikan kepada orang lain sebenarnya kita memberi kebaikan untuk diri kita
sendiri (Q.S. Al-Isra: 7). Itu juga mengapa Adam di surga tidak merasa betah
karena tidak ada tempat membagi. Maka dari itu, Allah menciptakan Hawa.
Bayangkan di surga saja kita tidak bisa hidup sendiri apalagi di dunia.
Ada kepuasan tersendiri ketika
kita membantu orang lain. Itulah juga mengapa makan (tho’am) berjamaah lebih
kenyang walaupun sedikit dengan makan sendiri. Itulah keberkahan berbagi.
Demikianlah tahapan pertama dari
tujuh tahapan amal yang akan kita bahas. Selanjutnya adalah tahapan kedua,
yaitu:
2. TA’WINU BAITIM MUSLIM (Membentuk Keluarga Muslim)
Sudah menjadi naluriah bahwa
setiap manusia membutuhkan pendamping hidup dan ingin memiliki keturunan. Bahkan
agama seorang muslim masih ompong sebelah sebelum ia menyempurnakan agamanya
dengan menikah. Dalam memilih pendamping hidup, Rasulullah telah memberi
petunjuk, salah satunya adalah hadits beliau yang terkenal,
“Wanita itu dinikahi karena empat
hal, yaitu karena kecantikannya, karena kekayaannya, karena keturunannya, atau
karena agamanya. Dan sebaik-baik wanita adalah yang kamu nikahi karena
agamanya.”
Proses yang dilalui dalam
pembentukan keluarga Islami haruslah juga melalui proses yang diridhai oleh
Allah seperti proses ta’aruf sampai walimahan agar keluarga yang akan terbentuk
benar-benar berada dalam naungan Allah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
memulai untuk membentuk keluarga Islami tidaklah boleh dengan cinta. Biarlah
cinta itu bersemi sendiri ketika sudah ijab qabul. Saya sepakat dengan pendapat
ini.
Muncul pertanyaan dari teman SMA
saya dulu ketika masih di Rohis, “Kok ikhwan tu nikahnya sama akhwat juga, kok
gak sama cewek? Kan bisa memperluas dakwah secara cepat?” Kemudian dijawab oleh
murabbi saya, “Itulah yang namanya penjagaan, pernikahan tidak hanya menyatukan
harta, jasad, tetapi juga menyatukan fikriyah dan ruhiyah.”
Dalam membentuk keluarga Islami
juga harus dipertimbangkan mengenai pemilihan khadimat (pembantu). Khadimat
yang dipilih haruslah seorang muslim yang dapat menularkan nilai-nilai Islam
kepada anak-anak kita.
Dalam tahapan ini diharapkan
hadirnya keluarga-keluarga Islam dan rumah sebagai madrasah pertama dalam
kehidupan dapat diterapkan. Dan ikhwan sebagai kepala rumah tangga dapat
menerapkan syariat Islam dalam kehidupan rumah tangganya.
3. IRSYADUL MUJTAMAK (Menyadarkan Masyarakat)
Setelah semua rumah tangga
menerapkan syariat Islam dalam rumahnya maka tidaklah susah untuk membawanya ke
masyarakat. Namun, kondisinya sekarang tidaklah semua rumah tangga menjadi
keluarga yang Islami. Maka itulah dibutuhkan tahapan ketiga dalam amal kita
yaitu menyadarkan masyarakat. Keluarga yang sudah Islami diharapkan mampu
menularkan nilai-nilai Islaminya kepada keluarga lain yang belum Islami.
Keluarga yang Islami menjadi contoh langsung dalam penerapan syariat Islam di
lingkungan keluarga. Selain itu juga proses penyadaran masyarakat dilakukan
oleh setiap diri individu dengan pendekatan masing-masing. Pendekatan itu agar
dapat diterima dengan baik oleh masyarakat haruslah mempertimbangkan beberapa
hal di antaranya:
a)
Benarnya ilmu/informasi yang diberikan dalam berdakwah.
b)
Materi yang disampaikan disesuaikan dengan objek dakwah (penjelasan lebih
lanjut terdapat dalam Fiqih Dakwah).
c)
Metodenya bagus/menarik. Contohnya Hasan Al-Banna yang berdakwah mula-mula di
warung kopi.
Pendekatan bersifat budaya juga
tidak menjadi masalah selama budaya itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan
Al-Hadits.
Setelah masyarakat terwarnai
dengan nilai-nilai Islam, kemudian saatnya kita berbicara mengenai tahapan
negara.
4. TAHRIRUL WATHON (Membebaskan Negeri)
Tahapan keempat dalam maratibal
amal adalah membebaskan negeri terutama negeri-negeri Islam. Pembebasan dalam
artian secara fisik maupun pembebasan di bidang ekonomi, politik, sosial,
maupun budaya. Setelah masyarakat Islam sadar akan nilai-nilai Islam yang harus
diterapkan maka tidaklah sulit untuk membebaskan negeri dari nilai-nilai kontra
Islam.
Isu yang perlu dicermati juga
dalam tahapan ini adalah isu Ghozwul Fikri. Umat Islam secara keseluruhan harus
memiliki benteng akan perang ini. Benteng itu adalah pemahaman yang
komprehensif akan perang ini dan penyembuh-penyembuh untuk mengalahkan musuh
yang tak terlihat ini.
Setelah negeri telah terbebaskan
secara lahir dan batin dari penjajah, maka tentunya kita tidak hanya jadi
penonton saja dalam membangun negara ini. Kita harus mengambil peran-peran
strategis demi kemaslahatan umat atau setidaknya jangan sampai peran itu jatuh
kepada orang-orang yang tidak amanat. Untuk itulah diperlukanlah tahapan
kelima, yaitu:
5. ISLAHUL HUKUMAH (Memperbaiki Pemerintahan)
Untuk memperbaiki pemerintah
tentunya kita harus jadi pemerintah. Lebih gampang mengkritik dari luar, tetapi
lebih mulia lagi kalau kita memperbaikinya dari dalam. Di sinilah makna
perkataan Hasan Al-Banna dapat ditangkap, “Tidaklah sempurna iman seorang
muslim, sebelum ia berpolitik”. Berpolitik tidak harus identik dengan
mendirikan partai politik. Membayar pajak juga termasuk berpolitik, berhenti
ketika lampu merah di jalan juga termasuk berpolitik.
Berangkat dari hal itulah amalan siyasiyah diperlukan untuk
memenangkan dakwah ini. Nasionalisme dan demokrasi yang kita jalani sekarang
ini hanyalah sebagian kecil dari politik Islam yang lebih luhur. Kita sama-sama
menjalaninya untuk memperbaikinya sampai suatu saat nanti semua orang Islam di
negeri ini meminta untuk ditegakkannya syariat Islam. Penegakkan syariat Islam
adalah perintah dari Allah yang harus kita laksanakan, tetapi datangnya hal itu
tidaklah ujuk-ujuk. Dia harus melalui
beberapa tahapan, dan tahapan itu panjang serta berliku.
Ikhwan harus bertebaran di segala penjuru pemerintahan baik
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dan sekarang kita sekarang sedang dalam
fase ini. Di bidang legislatif banyak yang sudah kita warnai di antaranya
lahirnya UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
UU No.13 tahun 2008 tentang Ibadah Haji, UU No.19 tahun
2008 tentang SUN dan Sukuk, UU No.44 tahun 2008 tentang Pornografi, dan
masih banyak lagi. Di bidang eksekutif sudah ada menteri-menteri dan kepala
daerah yang pro kepada Islam. Semuanya itu termuat dalam satu kapal yang sama
yaitu kapal Al-Islam.
Seperti yang telah saya katakan
tadi syariat Islam akan tegak dengan sendirinya ketika semua umat Islam
menginginkannya. Bagaimana agar semua umat Islam menginginkannya? Ya,
jawabannya adalah tarbiyah, memberikan pemahaman, dan proses ini panjang dan
berliku bahkan usia da’i tidak cukup untuk menjalani proses ini secara penuh.
Setelah negeri yang Islami
terbentuk dan semua nilai-nilai Islami diterapkan dengan semestinya maka
Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghoffur akan hadir. Kesejahteraan akan terjadi
dan kita akan dapat mengulang masa kejayaan Islam ketika di zaman Kesultanan
Umayyah dan Abbasiyah. Setelah tahapan ini selesai dilaksanakan, kita juga
harus mengambil peran di dunia internasional dan itulah dibutuhkan tahapan
keenam, yaitu:
6. I’ADATUL QIYANID DAULIH LIL UMMATI ISLAMIYAH (Mengembalikan
Peran Umat Islam dalam Percaturan Internasional)
Setelah setiap negara menerapkan
Islam maka tidaklah sulit menyatukan negara-negara itu dalam suatu
kekhilafahan. Ambil contoh yang riil saja saat ini yaitu Euro. Euro adalah
kesatuan negara-negara Eropa yang memiliki mata uang yang sama dan setiap tahun
dipilih pemimpinnya. Mengapa negara-negara Islam tidak bisa melakukannya?
Sebenarnya pemisah-misahan dunia
ini menjadi negara-negara tidaklah lepas dari konspirasi Yahudi agar mereka
dapat membentuk negara Israel, itu menurut sebagian versi. Coba ikhwan
bayangkan betapa kuatnya Islam jika semua negara-negara Islam atau
negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam bersatu. Persatuan ini akan
menghasilkan suatu negara digdaya yang luar biasa. Dan ketika suatu saat hal
ini terjadi, maka bumi akan tampak lebih terang. Setelah semua tahapan-tahapan
itu telah dilaksanakan maka sampailah kita pada tahapan terakhir yaitu:
7. MUSTAZIATUL A’LAM (Menjadi Soko Guru bagi Semesta Alam)
Maksudnya Islam dengan Al-Qur’an
dan Al-Hadits akan benar-benar mengambil perannya dalam kehidupan di dunia ini.
Semua ilmu pengetahuan akan berkembang berdasarkan ajaran Allah. Kedamaian dan
kesejahteraan sejati di dunia dapat tercapai.
Kelihatan tidak masuk akal? Tidak
juga. Karena lagi-lagi Imam Hasan Al-Banna berkata: “Mimpi hari kemarin adalah
kenyataan hari ini dan mimpi hari ini adalah kenyataan di esok hari”.
Tak akan pernah kiamat dunia ini
sebelum suatu saat di akhir zaman nanti Islam kembali menguasai dunia dan
berjaya karena ini adalah Iradah Rabbaniyyah.
Islam akan tetap bangkit dengan
atau tanpamu. Semuanya tergantung kita, apakah kita akan hanya menjadi penonton
alias menjadi orang yang duduk-duduk saja. Atau apakah kita mau jadi pemain
utama penentu kemenangan.
Komentar
Posting Komentar