Langsung ke konten utama

Maratibal Amal (Tahapan-tahapan Amal)

Maratibal Amal (Tahapan-tahapan Amal)

Salah satu materi halaqah yang berkesan bagi saya baik itu berkesan untuk logika saya maupun emosi saya adalah suatu materi dari Hasan Al-Banna yang berjudul Maratibal Amal (Tahapan-tahapan Amal). Ketika mendapat materi ini saya baru sadar sedang berada di titik mana dakwah kita dan hendak ke titik mana dakwah ini menuju. Tujuan membuat aktivitas yang kita lakukan lebih berenergi. Dapat dibayangkan jika kita memiliki tujuan yang bias, dapat dipastikan amalan-amalan kita tanpa arah. Bisa saja orang berkata tujuan kita mencari Ridha Allah bukan yang lain, tetapi harus diingat juga menentukan tujuan haruslah spesifik. Atau tujuan besar itu harus dipotong-dipotong menjadi tujuan-tujuan kecil, sehingga kita dapat memvisualisasikannya dengan jelas. Dan apa yang dilakukan oleh Hasan Al-Banna adalah bermaksud untuk melakukan hal tersebut. Beliau tidak bermaksud mengaburkan tujuan besar kita untuk mencari Ridha Allah, tetapi justru beliau memperjelasnya dengan tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
Maratibal amal juga menjadi sequence amal kita dalam memperjuangkan dakwah ini, sesuai firman Allah:
“Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (Q.S. Al-Insyirah: 7)
Hal ini membuat kerja kita lebih terarah karena kita tahu apa yang akan kita lakukan setelah kita selesai melakukan suatu amalan. Kita tidak disibukkan untuk mencari-cari amalan ketika kita selesai mengerjakan suatu amalan. Dengan menetapkan apa yang akan kita lakukan terlebih dahulu daripada tindakan terlebih dahulu, maka itu sesuai dengan kata-kata bijak:
“Gagal merencanakan sama saja dengan merencanakan kegagalan.”
Atau kata-kata Abe Lincoln: “Kalau saya diberi waktu tujuh jam untuk menebang pohon, maka saya akan gunakan lima jam untuk mengasah kapak”.
Bahkan berdasarkan ayat di atas kita diperintahkan oleh Allah untuk berjihad (bersungguh-sungguh) mengerjakan amal yang akan datang setelah kita mengerjakan suatu amalan. Maka amalan yang akan datang seyogyanya harus lebih baik dari amal yang terdahulu yang telah kita kerjakan.
Maratibal Amal yang dikonsep oleh Hasan Al-Banna masih sangat relevan di zaman sekarang. Dikatakan demikian karena apa yang beliau pikirkan hanyalah konsep dari seorang manusia yang dapat berubah-ubah mengikuti perubahan zaman. Yusuf Qardhawi saja yang merupakan seorang murid dari Al-Banna, memiliki fatwa-fatwa kontemporer, bahkan beliau berani bertentangan pemikiran dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam fatwa pengucapan selamat natal. Itu tidak lain karena segala hal yang di luar dua pusaka umat Islam, Al-Quran dan Al-Hadits, tidaklah bersifat saklak dan mutlak. Begitu pun Maratibal Amal ini. Kita sebagai seorang ikhwan jangan sampai mensejajarkan pemikiran beliau dengan Al-Quran dan Al-Hadits yang tidak ada cacatnya sama sekali dan kita juga harus menerima dengan hati yang lapang jikalau ada konsep yang lebih baik atau konsep yang menyempurnakan pemikiran Hasan Al-Banna.
Tanpa berpanjang lebar lagi berikut akan dijelaskan Maratibal Amal dengan perspektif dan kata-kata penulis sendiri. Mohon maaf jika ada ketidaksesuaian karena semua yang penulis tulis berangkat dari apa yang penulis pahami.
Hasan Al-Banna membagi tahapan-tahapan amal dakwah kita menjadi tujuh, yaitu:
1.        ISLAHUN NAFS (Memperbaiki Diri)
Sebelum kita berkoar-koar untuk mendirikan khilafah ada baiknya kita lihat diri kita sendiri apakah kita menegakkan syariat Islam minimal untuk diri kita sendiri? Sangat lucu ketika orang berteriak-teriak, “Hancurkan thaghut! Thaghut tidak boleh jadi dasar negara! Tegakkan syariat Islam! Tegakkan khilafah!”, tetapi dia sendiri sholatnya masih bolong-bolong, masih suka bohong, masih suka melanggar perintah Allah lainnya. Sungguh hal ini sangat dibenci Allah. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci  di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff: 2-3)
Atau mungkin ikhwan pernah mendengar cerita seorang ulama Hasan Al-Bashri yang tidak mau menyampaikan materi tentang membebaskan budak sebelum ia selesai mengumpulkan uang untuk membebaskan budak dan setelah itu beliau baru mau menyampaikan materi tentang membebaskan budak. Saya pernah mendengar kajian dari seorang ustadz muda (kalau bisa dibilang begitu), saya agak kurang setuju dengan pandangannya. Beliau mengatakan untuk memberi taushiyah tentang menikah dia tidak harus menikah. Bahkan ustadz itu menceritakan bahwa beliau memiliki dua orang mutarabbi yang telah menikah sementara beliau sendiri belum menikah dan beliau merasa nyaman-nyaman saja. Menurut saya, pandangan ustadz muda itu cukup keliru.
Kemudian muncul pertanyaan model perbaikan diri seperti apa yang hendak dicapai? Pertanyaan itu dijawab Al-Banna dengan sepuluh Muwashofat (karakteristik) ikhwan ideal. Perbaikan diri itu ditujukan agar setiap muslim memiliki muwashofat ini. Muwashofat tersebut, yaitu:
a. Aqidah yang Bersih (Salimul Aqidah)
Sebelum kita melangkah lebih jauh, tiga muwashofat yang pertama dapat digambarkan sebagai suatu pohon. Akar dari pohon itu adalah aqidah yang berwujud iman, batangnya adalah ibadah yang berwujud Islam, dan dahan serta daun dan juga buahnya adalah akhlak, dan salah satu akhlak yang paling baik adalah ihsan.
Aqidah atau iman diibaratkan suatu akar dialah pondasi yang menjaga agar pohon itu tetap tegak. Idealnya semakin tinggi menjulang suatu pohon maka akan semakin kencang angin yang akan menerpa dan dibutuhkan juga akar yang kuat yang menjalar dan yang menghujam. Itu dapat berarti semakin tinggi tingkatan keimanan seseorang maka cobaan dari Allah akan semakin kencang dan dibutuhkan aqidah atau keyakinan yang semakin kuat.
Itulah juga mengapa materi awal-awal tarbiyah kita adalah perkenalan dengan Allah, dengan malaikat, dengan Rasul agar sebelum kita diberi materi lain kita telah memiliki pondasi yang kuat dan kokoh.
b. Ibadah yang Benar (Shahihul Ibadah)
Karakteristik yang kedua ini diibaratkan adalah batang dari suatu pohon yang merupakan pusat aktivitas dari suatu pohon. Dialah yang merealisasikan pemikiran, konsep, dan angan-angan kita. Tanpa action apa yang kita konsep hanyalah omong kosong belaka. Maka di sinilah ibadah mengambil peran. Konsep yang cukup dengan tindakan jauh lebih baik daripada konsep yang melangit tetapi tanpa realisasi.
Ibadah juga luas maknanya tidak hanya kepada Allah atau ibadah mahdah (baca: hablumminallah), tetapi kepada manusia juga adalah ibadah yaitu ibadah ghairu mahdah (baca: hablumminannaas). Semua kegiatan pada dasarnya adalah tercatat sebagai ibadah jika diniatkan untuk mencari keridhaan Allah.
c. Akhlak yang Kokoh (Matinul Khuluq)
Karakteristik yang ketiga adalah buah dari dua karakteristik yang telah disebutkan yaitu akhlak yang kokoh. Ia berasal dari aqidah yang kokoh dan ibadah yang kokoh. Bukankah Rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak? Setiap muslim yang memiliki akhlak yang kokoh maka izzah-nya (kewibawaannya) akan tampak.
d. Kekuatan Jasmani (Qowwiyul Jism)
Karakteristik muslim ideal yang keempat adalah memiliki jasad yang kuat. Bagaimana kita hendak mengerjakan amalan-amalan dakwah kalau jasad kita lemah padahal kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang kita miliki. Dibutuhkan kekuatan jasmani untuk mendukung semua itu. Kita juga dianjurkan untuk selalu bersiap siaga dan setidaknya ada satu bidang beladiri yang kita kuasai. Kita juga tahu anjuran Rasul untuk melatih diri agar kita bisa memanah, berkuda, dan berenang. Itulah mengapa jamaah kita adalah juga klub olahraga karena kita juga konsen terhadap hal ini.
e. Intelek dalam Berpikir (Mutsaqqoful Fikri)
Seorang muslim yang ideal bukanlah seorang muslim yang hanya bisa bahasa Arab saja, ia harus bisa bahasa Inggris, bahkan kalau perlu ia bisa bahasa Mandarin, bahasa Jepang, atau bahasa Perancis. Seorang muslim yang ideal tidak hanya mondok di pesantren, dia juga harus mondok di Harvard, Cambridge, Oxford, atau Nanyang. Seorang muslim yang ideal tidak hanya bisa baca kitab kuning, dia juga harus bisa membaca ilmu perbintangan, membaca laporan keuangan, dan bahkan membaca DNA tubuh manusia.
Untuk mendirikan suatu negara Islam kita tidak hanya membutuhkan ustad saja. Kita juga butuh ilmuwan, butuh dokter, butuh insinyur, butuh arsitek, butuh tentara, polisi, dan lain-lain. Maka dari itulah seorang ikhwan harus bertebaran di muka bumi ini, memperluas wawasan, dan menguasai ilmu pengetahuan.
f. Berjuang Melawan Hawa Nafsu (Mujahadatul Linafsihi)
Walaupun hadits tentang perang melawan hawa nafsu setelah Perang Uhud termasuk hadits dhoif, kita dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya dan besarnya berjuang memerangi hawa nafsu sampai harus disejajarkan dengan beratnya perjuangan dalam Perang Uhud. Muslim yang terkuat bukanlah muslim yang jago gulat, tetapi muslim yang dapat menjaga hawa nafsunya. Kita yang menjadi tuan atas hawa nafsu kita bukan sebaliknya hawa nafsu yang menjadi tuan atas diri kita. Hawa nafsu ibarat kuda yang menarik delman kita. Kita yang mengendalikannya apakah ia mau maju, mundur, ke kanan, ataukah ke kiri semuanya terserah kita dan tentunya kita mengendalikannya dengan iman.
g. Pandai Menjaga Waktu (Harishun Ala Waqtihi)
Imam Al-Banna pernah berkata, ‘Al-wajibatu aktsaru minal auqot’, kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki. Seorang muslim yang ideal adalah muslim yang sangat menghargai waktu karena ia sadar waktu takkan pernah berulang. Senin yang kita jalani minggu ini berbeda dengan Senin minggu depan. Detik yang kita lalui sekarang berbeda dengan detik yang akan kita lalui di masa depan. Setiap orang sama-sama memiliki waktu 24 jam sehari dalam hidupnya, tetapi karya orang berbeda-beda. Orang yang jenius punya waktu 24 jam, orang yang tidak atau belum jenius juga punya waktu 24 jam, tetapi mereka berbeda. Perbedaannya terletak bagaimana mereka menggunakan waktunya.
h. Teratur dalam Urusan (Munazhzhamun fi Syuunihi)
Urusan seorang muslim bukanlah urusan yang amburadul tanpa konsep. Itulah mengapa hampir setiap rukun ibadah mahdah kita selalu ada rukun tertib di dalamnya. Dalam setiap amalan, kita memiliki tahapan-tahapan kegiatan yang mana yang harus didahulukan, diketengahkan, dan diakhirkan dan tidak bisa di-random karena hasilnya akan beda apabila suatu hal yang seharusnya di akhir diawalkan dan suatu hal yang seharusnya di awal diakhirkan. Urutan surat Al-Qur’an saja diatur urutannya oleh Allah tanpa campur tangan manusia.
i. Memiliki Kemampuan Usaha Sendiri atau Mandiri (Qodirun Alal Kasbi)
Ada tradisi yang mengatakan bahwa seorang laki-laki baru tampak kelihatan sebagai seorang laki-laki ketika dia mampu berpenghasilan. Orang yang masih meminta makan kepada orang lain hidupnya masih berada di ketiak orang yang memberinya makan. Dia tidak bisa bebas mengatur langkah kakinya karena pemikiran dan langkah kakinya diatur oleh orang yang memberinya makan. Dengan memiliki sumber penghasilan sendiri seseorang akan bebas dari segala budi orang lain dan dia tidak harus dibebani dengan pembalasan budi kepada orang lain. Rasul juga menyuruh seorang sahabat untuk berpenghasilan sendiri dengan menjual kayu bakar ke pasar daripada harus meminta-minta. Seorang yang berpenghasilan sendiri juga memiliki izzah atau kewibawaan tersendiri.
j. Bermanfaat bagi Orang Lain (Nafi’un Lighoirihi)
Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Ketika kita memberi kebaikan kepada orang lain sebenarnya kita memberi kebaikan untuk diri kita sendiri (Q.S. Al-Isra: 7). Itu juga mengapa Adam di surga tidak merasa betah karena tidak ada tempat membagi. Maka dari itu, Allah menciptakan Hawa. Bayangkan di surga saja kita tidak bisa hidup sendiri apalagi di dunia.
Ada kepuasan tersendiri ketika kita membantu orang lain. Itulah juga mengapa makan (tho’am) berjamaah lebih kenyang walaupun sedikit dengan makan sendiri. Itulah keberkahan berbagi.
Demikianlah tahapan pertama dari tujuh tahapan amal yang akan kita bahas. Selanjutnya adalah tahapan kedua, yaitu:
2. TA’WINU BAITIM MUSLIM (Membentuk Keluarga Muslim)
Sudah menjadi naluriah bahwa setiap manusia membutuhkan pendamping hidup dan ingin memiliki keturunan. Bahkan agama seorang muslim masih ompong sebelah sebelum ia menyempurnakan agamanya dengan menikah. Dalam memilih pendamping hidup, Rasulullah telah memberi petunjuk, salah satunya adalah hadits beliau yang terkenal,
“Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena kecantikannya, karena kekayaannya, karena keturunannya, atau karena agamanya. Dan sebaik-baik wanita adalah yang kamu nikahi karena agamanya.”
Proses yang dilalui dalam pembentukan keluarga Islami haruslah juga melalui proses yang diridhai oleh Allah seperti proses ta’aruf sampai walimahan agar keluarga yang akan terbentuk benar-benar berada dalam naungan Allah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa memulai untuk membentuk keluarga Islami tidaklah boleh dengan cinta. Biarlah cinta itu bersemi sendiri ketika sudah ijab qabul. Saya sepakat dengan pendapat ini.
Muncul pertanyaan dari teman SMA saya dulu ketika masih di Rohis, “Kok ikhwan tu nikahnya sama akhwat juga, kok gak sama cewek? Kan bisa memperluas dakwah secara cepat?” Kemudian dijawab oleh murabbi saya, “Itulah yang namanya penjagaan, pernikahan tidak hanya menyatukan harta, jasad, tetapi juga menyatukan fikriyah dan ruhiyah.”
Dalam membentuk keluarga Islami juga harus dipertimbangkan mengenai pemilihan khadimat (pembantu). Khadimat yang dipilih haruslah seorang muslim yang dapat menularkan nilai-nilai Islam kepada anak-anak kita.
Dalam tahapan ini diharapkan hadirnya keluarga-keluarga Islam dan rumah sebagai madrasah pertama dalam kehidupan dapat diterapkan. Dan ikhwan sebagai kepala rumah tangga dapat menerapkan syariat Islam dalam kehidupan rumah tangganya.
3. IRSYADUL MUJTAMAK (Menyadarkan Masyarakat)
Setelah semua rumah tangga menerapkan syariat Islam dalam rumahnya maka tidaklah susah untuk membawanya ke masyarakat. Namun, kondisinya sekarang tidaklah semua rumah tangga menjadi keluarga yang Islami. Maka itulah dibutuhkan tahapan ketiga dalam amal kita yaitu menyadarkan masyarakat. Keluarga yang sudah Islami diharapkan mampu menularkan nilai-nilai Islaminya kepada keluarga lain yang belum Islami. Keluarga yang Islami menjadi contoh langsung dalam penerapan syariat Islam di lingkungan keluarga. Selain itu juga proses penyadaran masyarakat dilakukan oleh setiap diri individu dengan pendekatan masing-masing. Pendekatan itu agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat haruslah mempertimbangkan beberapa hal di antaranya:
a)      Benarnya ilmu/informasi yang diberikan dalam berdakwah.
b)      Materi yang disampaikan disesuaikan dengan objek dakwah (penjelasan lebih lanjut terdapat dalam Fiqih Dakwah).
c)       Metodenya bagus/menarik. Contohnya Hasan Al-Banna yang berdakwah mula-mula di warung kopi.
Pendekatan bersifat budaya juga tidak menjadi masalah selama budaya itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadits.
Setelah masyarakat terwarnai dengan nilai-nilai Islam, kemudian saatnya kita berbicara mengenai tahapan negara.
4. TAHRIRUL WATHON (Membebaskan Negeri)
Tahapan keempat dalam maratibal amal adalah membebaskan negeri terutama negeri-negeri Islam. Pembebasan dalam artian secara fisik maupun pembebasan di bidang ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Setelah masyarakat Islam sadar akan nilai-nilai Islam yang harus diterapkan maka tidaklah sulit untuk membebaskan negeri dari nilai-nilai kontra Islam.
Isu yang perlu dicermati juga dalam tahapan ini adalah isu Ghozwul Fikri. Umat Islam secara keseluruhan harus memiliki benteng akan perang ini. Benteng itu adalah pemahaman yang komprehensif akan perang ini dan penyembuh-penyembuh untuk mengalahkan musuh yang tak terlihat ini.
Setelah negeri telah terbebaskan secara lahir dan batin dari penjajah, maka tentunya kita tidak hanya jadi penonton saja dalam membangun negara ini. Kita harus mengambil peran-peran strategis demi kemaslahatan umat atau setidaknya jangan sampai peran itu jatuh kepada orang-orang yang tidak amanat. Untuk itulah diperlukanlah tahapan kelima, yaitu:
5. ISLAHUL HUKUMAH (Memperbaiki Pemerintahan)
Untuk memperbaiki pemerintah tentunya kita harus jadi pemerintah. Lebih gampang mengkritik dari luar, tetapi lebih mulia lagi kalau kita memperbaikinya dari dalam. Di sinilah makna perkataan Hasan Al-Banna dapat ditangkap, “Tidaklah sempurna iman seorang muslim, sebelum ia berpolitik”. Berpolitik tidak harus identik dengan mendirikan partai politik. Membayar pajak juga termasuk berpolitik, berhenti ketika lampu merah di jalan juga termasuk berpolitik.
Berangkat dari hal itulah amalan siyasiyah diperlukan untuk memenangkan dakwah ini. Nasionalisme dan demokrasi yang kita jalani sekarang ini hanyalah sebagian kecil dari politik Islam yang lebih luhur. Kita sama-sama menjalaninya untuk memperbaikinya sampai suatu saat nanti semua orang Islam di negeri ini meminta untuk ditegakkannya syariat Islam. Penegakkan syariat Islam adalah perintah dari Allah yang harus kita laksanakan, tetapi datangnya hal itu tidaklah ujuk-ujuk. Dia harus melalui beberapa tahapan, dan tahapan itu panjang serta berliku.
Ikhwan harus bertebaran di segala penjuru pemerintahan baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dan sekarang kita sekarang sedang dalam fase ini. Di bidang legislatif banyak yang sudah kita warnai di antaranya lahirnya UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No.13 tahun 2008 tentang Ibadah Haji, UU No.19 tahun 2008 tentang SUN dan Sukuk, UU No.44 tahun 2008 tentang Pornografi, dan masih banyak lagi. Di bidang eksekutif sudah ada menteri-menteri dan kepala daerah yang pro kepada Islam. Semuanya itu termuat dalam satu kapal yang sama yaitu kapal Al-Islam.
Seperti yang telah saya katakan tadi syariat Islam akan tegak dengan sendirinya ketika semua umat Islam menginginkannya. Bagaimana agar semua umat Islam menginginkannya? Ya, jawabannya adalah tarbiyah, memberikan pemahaman, dan proses ini panjang dan berliku bahkan usia da’i tidak cukup untuk menjalani proses ini secara penuh.
Setelah negeri yang Islami terbentuk dan semua nilai-nilai Islami diterapkan dengan semestinya maka Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghoffur akan hadir. Kesejahteraan akan terjadi dan kita akan dapat mengulang masa kejayaan Islam ketika di zaman Kesultanan Umayyah dan Abbasiyah. Setelah tahapan ini selesai dilaksanakan, kita juga harus mengambil peran di dunia internasional dan itulah dibutuhkan tahapan keenam, yaitu:
6. I’ADATUL QIYANID DAULIH LIL UMMATI ISLAMIYAH (Mengembalikan Peran Umat Islam dalam Percaturan Internasional)
Setelah setiap negara menerapkan Islam maka tidaklah sulit menyatukan negara-negara itu dalam suatu kekhilafahan. Ambil contoh yang riil saja saat ini yaitu Euro. Euro adalah kesatuan negara-negara Eropa yang memiliki mata uang yang sama dan setiap tahun dipilih pemimpinnya. Mengapa negara-negara Islam tidak bisa melakukannya?
Sebenarnya pemisah-misahan dunia ini menjadi negara-negara tidaklah lepas dari konspirasi Yahudi agar mereka dapat membentuk negara Israel, itu menurut sebagian versi.  Coba ikhwan bayangkan betapa kuatnya Islam jika semua negara-negara Islam atau negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam bersatu. Persatuan ini akan menghasilkan suatu negara digdaya yang luar biasa. Dan ketika suatu saat hal ini terjadi, maka bumi akan tampak lebih terang. Setelah semua tahapan-tahapan itu telah dilaksanakan maka sampailah kita pada tahapan terakhir yaitu:
7. MUSTAZIATUL  A’LAM (Menjadi Soko Guru bagi Semesta Alam)
Maksudnya Islam dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits akan benar-benar mengambil perannya dalam kehidupan di dunia ini. Semua ilmu pengetahuan akan berkembang berdasarkan ajaran Allah. Kedamaian dan kesejahteraan sejati di dunia dapat tercapai.
Kelihatan tidak masuk akal? Tidak juga. Karena lagi-lagi Imam Hasan Al-Banna berkata: “Mimpi hari kemarin adalah kenyataan hari ini dan mimpi hari ini adalah kenyataan di esok hari”.
Tak akan pernah kiamat dunia ini sebelum suatu saat di akhir zaman nanti Islam kembali menguasai dunia dan berjaya karena ini adalah Iradah Rabbaniyyah.

Islam akan tetap bangkit dengan atau tanpamu. Semuanya tergantung kita, apakah kita akan hanya menjadi penonton alias menjadi orang yang duduk-duduk saja. Atau apakah kita mau jadi pemain utama penentu kemenangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 karakter Aktivis Dakwah

Persepsi masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda, bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah, padahal itu hanyalah salah satu aspek yang harus lekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim. Bila disederhanakan, sekurang-kurangnya ada sepuluh profil atau ciri khas yang harus lekat pada pribadi muslim. 1. Salimul Aqidah Aqidah yang bersih  (salimul aqidah)  merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada A

Quantum Tarbiyah

Murobbi   adalah seorang guru atau pendidik. Ia mengajarkan Al Qur’an, hadits, dan kitab memberi suplai ilmu, memberikan wawasan baru sehingga murid-murid merasa tentram bersamanya. Serta seseorang   murobbi   berarti dia merupakan jejak pewaris Nabi, karena Nabi mengajarkan Islam dengan   tarbiyah . Jadi saatnya bersama menggelorakan jiwa mencetak kader serba bisa, mengubah potensi jadi prestasi, mengubah energi menjadi cahaya, mengubah ide menjadi karya, mengubah impian menjadi kenyataan. Imam Hasan al-Banna merumuskan sasaran dakwah yang beliau mulai dari warung kopi, bukan di mimbar masjid atau di kursi empuk parlemen. Dari Kondisi keterbatasan itulah optimism e dan gagasan besar dibangun . Dari orang biasalah dakwah bermula. Membangun   tarbiyah   sebagai aktivitas yang lebih menyenangkan dari pada aktivitas yang lain. Agar indah bagai di   jannah   penuh bunga nan merekah. Hadir dengan wajah sumringah. Sampaikan  nasihat dengan  ikhlas agar dahsyat dan menggugah. Hemat

KEMERDEKAAN INDONESIA: BERAWAL DARI PALESTINA DAN MESIR

KEMERDEKAAN INDONESIA: BERAWAL DARI PALESTINA DAN MESIR Rabu, 17 Agustus 2011. Genap sudah 66 tahun usia Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun di usianya yang lebih dari setengah abad ini pemerintah Indonesia belum benar-benar berhasil melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, belum benar-benar berhasil memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, tetap saja nikmat kemerdekaan ini harus kita syukuri. Salah satu bentuk rasa syukur adalah dengan ‘jasmerah’—jangan sekali-kali melupakan sejarah! Karena sejarah dapat menjadi bahan pelajaran dan pertimbangan bagi pilihan sikap dan tindakan di masa kini atau di masa mendatang. Berkaitan dengan sejarah kemerdekaan Indonesia, ada hal yang jarang sekali diungkap, yakni tentang negara mana saja yang pertama kali membantu dan memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Patut dicatat bahwa dukungan dan pengakuan kedaulatan Indonesia pertama k